Penyesuaian

Monday, November 26, 2018 0 Comments A + a -

Mungkin karena merasa sebentar lagi akan lulus, yang padahal ini skripsi masih stuck aja, aku jadi banyak overthinking bulan ini. Penyesalan-penyesalan kenapa dulu di kampus ga aktif menguap lagi, Ketakutan karena ga punya apa-apa ketika mau kerja, minim pengalaman, dsb muncul kepermukaan. Pokoknya stress banget tapi sekarang sudah ke handle karena banyak diskusi, nonton ceramah dan baca buku. 

Entah ini mau pembelaan atau gimana tapi kalau ditarik garis waktu, emang dari awal aku sudah memilih untuk aktif di jalan-jalan yang sepi. Salah satunya pengen mulai menghafal Quran. Tapi sayang ini ga konsisten, jadi target belum kacapai, yang sebenarnya masih bisa aja dikejar, cuma perebutan sama prioritas lain. Terus sebenarnya ga berarti ga aktif juga sih, aku aktif di beberapa kegiatan dan ketemu banyak orang, cuma ga bisa netep disatu tempat, karena ya ga betah dan bosan, dan aku juga ga ngerti kenapa bisa ga se-passionate seperti dulu. Sepertinya aku  memang sudah sangat sangat mual banget sama atmosfer organisasi. Mungkin waktu SMP-SMA aku terlalu overdosis aktif dilingkungan seperti itu.  Jadi ya sekarang udah ga terlalu interest. Cuma kalo coach di NLP bilang, itu bukan karena aku pemalas, atau aku tertutup, itu tandanya aku sudah mulai bisa memilih sesuatu untuk diriku sendiri. Postif sekali :) 

Bicara soal aktif di organisasi, ternyata kolektivitas yang kental di masyarakat Timur ga selalu bagus. Dengan terlibat secara intens di dalam sebuah kelompok, kita akan semakin menyesuaikan diri dengan hal-hal yang disepakati didalamnya. Dan independensi terhadap sesuatu, seperti pemikiran, sikap akan mulai terkikis, karena ya tadi mencoba untuk fit in dan sesuai dengan nilai-nilai yang dipegang kelompoknya akan menggadaikan idealisme pribadi bahkan kepercayaan diri untuk tampil beda. Yang padahal berdikari adalah stimulus untuk berpikir, berperilaku dan menciptakan karya-karya kreatif.

Hemmm, ketika membaca uraian-uraian tersebut di bukunya Ng Aik Kwang, Asia Vs Barat, aku jadi manggut-manggut kepala. Aku masih ingat betapa dulu aku begitu percaya diri tampil beda dan melakukan hal yang beda (tentunya produktif) kemudian sedikit demi sedikit luntur karena terlalu lama menetap secara kelompok di pesantren. Ya mau tidak mau aku jadi terwarnai, dan sangat menghargai nilai-nilai atau kebiasaan (baik yang baik atau yang buruk) yang dianut oleh kelompok tersebut. 

Bukan ingin menyalahkan, tapi sepertinya ruang privasi itu memang harus dijaga dan dibina, agar punya pendirian sendiri dalam memandang dunia. Kenapa mesti kreatif? Kreatif itu bukan cuma soal hiburan, kreatif itu juga sebuah jembatan pemecahan masalah. Dan dunia kita ini banyak masalahnya. Cuma sampah dan bangkai ikan yang terbawa arus, aku tak mau. 

Nah kalau ngomongin hal kayak gitu, aku jadi bersyukur juga bisa mengenyam bangku kuliah. Awalnya aku memang mengalami culture shock, karena dunia kuliah itu individualis sekali. Teman satu angkatan aja rasanya banyak yang ga kenal, dan terhadap kehidupan pribadi orang, satu sama lain ga saling peduli. Tapi dari sini, aku mulai latihan lagi, berdiri di kaki sendiri, dan mulai lagi berani bermimpi dan bertindak yang beda dari orang lain. Karena dalam kesendirian ini, yang kita butuhkan adalah kredibilitas dari skill yang kita punya agar bisa bertahan. Kalau ini dianggap suatu konflik, ya ini ga bisa dianggap tantangan. Tapi kalau mau dijadiin tantangan positif, bisa jadi sesuatu hal baik buat diri sendiri. Wallahu'alam. 


Telkom University - Ilmu Komunikasi (Broadcasting)
Scriptwriter | Journalist | Editor | Pejuang Quran, She is