Mata yang Memandang, Tapi Tak Melihat Apa-Apa Selain Kehampaan

Sunday, April 09, 2017 0 Comments A + a -

“Tidak seperti kita, para leluhur kita berdialog dengan dunia, dengan alam. Mereka memandang alam, mengamati dan merenungkannya. Seperti penyair Zawawi Imron, mereka berbicara dengan ombak, berbisik-bisik dengan angin, berdialog dengan ilalang. Mereke berjalan dan mematut-matut segala sesuatu. Mata mereka terlatih melihat sudut-sudut sebuah tempat. Dalam pengamatannya, mereka akan berkata: “Wah, tahun ini tangkai kacang buncis lebih panjang dibanding tahun lalu”, “Deburan ombak lebih membuai dibanding dulu”. Ucapan-ucapan seperti ini tidak bisa lagi kita dengar dari anak muda di zaman informasi sekarang, sebab mereka sudah terbiasa melihat permukaan citraan ketimbang kedalamn. Para leluhur kita melihat keindahan dibalik sepucuk tanaman, dan menikmatinya. Ia melihat jiwa dibalik tanaman itu, yang anak masa muda tidak bisa melihatnya. Para leluhur lita melihat sesuatu yang tersembunyi dibalik sebuah objek. Sebaliknya, anak muda di zaman kita – ketika segala sesuatunya justru telah menjadi transparan – malah tidak mampu melihat apa-apa dari sebuah citraan. Ini adalah semacam kebutaan yang mewabahi masyarakat kontemporer kita-mata yang memandang, tapi tak melihat apa-apa, selain kehampaan!” (Yasraf Amir,1998 : 109)
Masih berkaitan dengan manusia lagi nih, beberapa kali aku sempat studi kasus, ya iseng aja nanya-nanya, kira-kira tau ga apa nama tanaman ini? Tau ga nama binatang ini? Tapi nihil. Orang yang menjawab sama tak taunya seperti yang bertanya. Beberapa generasi tradiosionalist masih bisa jawab ini, misal nenek. Tapi temen-temen segenerasi sih, yahh cuma bisa bergumam dan rolling eyes. Ehe.

Kita hidup di bumi yang 1/3 luasnya diisi oleh daratan. Tapi men, meski 2/3nya itu air, bumi ini juga lebih kaya akan binatang dan tumbuhan dibanding mall dan bangunan. Right?

Alun-alun Ciawi, Tasikmalaya '17
Makanya kita sering kali jenuh bukan belajar biologi, apalagi menghapal nama-nama latin tumbuhan yang mirip nan serupa, atau yang beda sekalipun. Karena apa? Karena saking banyakknyaaaaaa. Ini kuasa Allah, banget! Maka bersyukur walau hanya nama-nama populer aja yang bisa nyangkut diotak, kayak Orizae Sativa.. haha

Tapi, aku makin ngeri juga sih, gimana coba nanti anak cucu aku cuma bisa nikmati alam secara virtual aja. Cuma lewat gambar buatan manusia yang dilindungi kaca 5 inchi. Sedihlah. 



Kemungkinan pertama, mereka udah ga bisa nikmatin lagi sumber daya alam yang meskipun itu bisa diperbaharui karena ya memang udah ga bisa nikmatin, bumi udah rusak kayak yang Wall-E rasain.

Emmm kemungkinan kedua, anak cucuku ngalamin hal yang serupa dengan aku dan temen2 saat ini. Ga bisa nikmatinnya karena memang banyak hal yang mengalihkan mereka dari nikmat dunia ini. Yang mempersempit kapasitas otak mereka untuk mengingat hal-hal penting yang justru mereka anggap ga penting.



Langsung ke detik 17.29 yaa 

 Bukan masalah kamu anak biologi dan aku bukan, atau sebaliknya. Tidak pantas melepaskan diri untuk tidak mengenali alam. Ya meski dulu sempet berpikir gitu, karena berpikirnya ya itu bukan "passion"ku tapi kini ga lagi deh, plis kayak gitu Cuma mencerminkan diri bahwa inilah budak passion yang bodoh, yang membatasi dirinya dari ilmu pengetahuan yang luas. Yang padahal kaya ilmu itu bisa membuat diri kita spesial sebagai manusia. Karena rugi juga, tak dekat juga dengan alam, maka tak bisa mengambil manfaat yang padahal kalau sudah tak kenal kekayaan sendiri, kalau orang lain aku, akan kalang kabut. Manfaat tak dapat, rugi sungguh tidak maslahat.


Maka, selain mengasah kreatifitas dibidang seni juga kecakapan dibidang sosial yang lagi hits, ada kalanya diri kita kembali mengulik ilmu pengetahuan alam. Jangan benuh rasa ingin tahu kita dibangku sekolahan saja. Mulai sekarang kalau kita lagi jalan main ke alam, biasa kan tuh mahasiswa sukanya berpetualang, simpen hp kita untuk nikmati alamnya yuk! Kalau mau mengabadikan lebih baik bawa kamera betulan agar tidak terdistraksi. Kalau tidak ada kamera yasudah sekali lagi nikmati lagi alamnya, nanti ada saatnya ambil gambar. Banyak interaksi dengan tetua juga. Supaya ilmu mereka tetap kita warisi. Jangan lupa baca buku biar ga bego, gitu anak seni rupa Tel-U bilang. 


Gue nantang lo untuk lebih peka terhadap lingkungan. Berani?


Telkom University - Ilmu Komunikasi (Broadcasting)
Scriptwriter | Journalist | Editor | Pejuang Quran, She is