Guru Yang Friendly?

Sunday, February 23, 2014 0 Comments A + a -




Disuatu pelatihan taruna melati 2 yang pernah aull ikuti, pada materi Leadership kang Nunus pernah melontarkan pertanyaan. “Apa perbedaan guru dan murid jaman sekarang dengan jaman dahulu?” Kita para peserta menjawab pertanyaan sekenanya, karena kang Nunus juga sangat friendly seolah pertanyaannya itu sebuah sesuatu yang tak serius. Kang nunus pun menjawab “Guru dan murid jaman dahulu itu sangat ditakuti sehingga sangat disegani dan dihormati. Sedangkan guru jaman sekarang itu sudah seperti teman.” Aku saat itu merenung. Teringat percakapan messageku dengan Adam.
Waktu itu aku kelas 3 akhir dan akan segera menentukan pilihan SMA. Hemm ya aku sudah jelas pasti akan melanjutkan di sekolah SMPku. Amanah Islamic Boarding School. Saat itu aku juga berkenalan dengan Adam lewat media sosial. Facebook. Kebetulan Adam juga kader IPM yang sama-sama menjabat sebagai Sekretaris Umum. Maka kamipun menjalin pertemanan yang baik meskipun belum pernah bertemu sebelumnya.   Karena kami adalah satu generasi, akupun menanyakan kemana Adam akan melanjutkan studinya. Ternyata dia sangat menginginkan untuk bisa bersekolah ditempatku juga. Tapi ada beberapa faktor yang tidak memungkinkan. Akhirnya Adam yang sangat memiliki rasa penasaran yang tinggi, memintaku menceritakan pengalamanku mukim di Amanah. Dan akhirnya aku bercerita juga soal guru-guru disana. Aku bilang di Amanah itu enak banget. Guru-gurunya bisa diajak curhat. Kayak temen gitu deh. Pokoknya enak!
Tau yang dijawab Adam apa? “Astaghfirullah, guru ko diajak curhat?” loh! Aku disana termangu tak mengerti. Memangnya kenapa kalau guru kita jadikan teman. Bukannya itu hal yang baik? Hingga saat ini aku belum mengerti. Karena jujur aku lumayan senang bergaul dengan guru. Meskipun hanya guru-guru tertentu. Ya, karena aku pikir aku yang tinggal di pesantren ini sangat membutuhkan orangtua. Siapalagi kalau bukan guru pengganti orang tua kita? Iya kan? :D
Hanya saja kejadian hari ini membuatku kembali berpikir soal ungkapan-ungkapan tadi. Hari ini guru Ulumul Quran menegur temanku yang datang terlambat kemudian mengobrol dan tidak bawa buku pula. Kami yang semula lumayan menikmati pelajaran tegang seketika. Karena kata-kata yang dilontarkan lumayan pedas. Dan akhirnya temanku menangis tanpa suara. Dirangkul dengan teman sebelahnya. Dan mungkin karena suasana yang sudah tidak nyaman guru tsb mengakhiri 30 menit lebih awal dari batas waktu yang telah ditentukan. Guru itupun menutup pelajaran dan mengucapkan permohonan maaf kepada temanku tadi dengan berbahasa arab. Dan setelah guru tsb pergi temanku nangis sekencang-kencangnya. Terdengarnya seperti orang yang benar-benar tersakiti. Ngebatin.Dan kamipun langsung bergerombol untuk menenangkan hatinya. Sambil merasa simpati aku bergumam dalam hati.
“Kalau anak jaman dulu kan terkenal didikannya keras ya? Terus kalau guru memarahi dia karena kesalahannya ataupun karena dia ga salah apa dia bakal ngerasa dendam seperti kita-kita ini? Ya ga dendam sih Cuma kesel aja gitu. Kurang bisa diterima? Apa justru mereka jadikan gertakan guru sebagai motivasi? Dan menjadikan diri menjadi lebih kuat?”
Pertanyaanku terus terngiang-ngiang hingga aku menulis entri ini. Apa mungkin benar ya, karena kita terlalu dekat terhadap guru? Sehingga ya beginilah faktanya saat ini. Hemm atau apa ya apa?


Telkom University - Ilmu Komunikasi (Broadcasting)
Scriptwriter | Journalist | Editor | Pejuang Quran, She is