Dari waktu yang dijanjikan sejak Rodinda Part 1 dipublikasikan, penulisan Rodinda 2 memakan waktu yang cukup lama. Bukan karena proses menulisnya, tapi karena belum ada prioritas yang dapat menggeser kesibukan skripsiku dan film dokumenter Bantengan. Baiklah.
Tadinya rodinda ini akan kuisi dengan tulisan mengenai arti Rodinda itu sendiri dan perjalanan menyenangkan selama di Malang. Tapi, menurutku ada hal yang lebih ingin kutuangkan di tulisan ini, sebagai bentuk syukur atas perjalanan yang telah aku lewati selama kuliah. Anggap saja, ini sebagai tulisan perpisahanku (seperti biasa) dipenghujung tahun dan surat terimakasihku terhadap diriku sendiri karena sudah hampir menyelesaikan studi. Mudah-mudahan tulisan ini dapat menjadi catatan perjalan hidupku yang kelak akan semakin tumbuh besar dan berjalan semakin jauh. Ya kita pernah berada di titik ini sayang.
Oke, saat ini aku sedang berada di perpustakaan Bandung Creative Hub. Perpustakaannya sangat ramah untuk anak-anak. Jadi mayoritas rak bukunya pun terisi buku anak-anak. Namun saat aku menjelajah rak buku lainnya, khususnya di rak buku non fiksi, terselip satu buku Dr. Sarah Anais yang berjudul ; Raga Kayu Jiwa Manusia. Sebelumnya aku pernah menghadiri diskusi yang dipimpin Dr. Sarah bertema ; Mencari Pribumi. dan aku kagum terhadap kecerdasannya. Ya perempuan kebangsaan Prancis ini dapat mengenal kebudayaan wayang golek dari Sunda dengan baik, sedangkan aku yang berdarah sunda asli, hanya mengenal kulitnya saja. Menikmati pagelarannya saja sudah terkantuk-kantuk. Selain itu, kekagumanku terhadap Sarah jatuh karena ia seorang perempuan dari “Barat” yang mungkin tidak asing kalau disana, meneruskan studi hingga jenjang S3 dan melakukan penelitian lama di negeri orang.
Nah saat aku membaca bukunya, aku membaca nama-nama yang tidak asing ditelingaku salah satunya H. Dadan Sunandar Sunarya. Aku menebak-nebak sepertinya ini nama tokoh yang berasal dari Jelekong. Dibaca lebih jauh ternyata benar. Di tahun 2017, aku pernah membuat film dokumenter berjudul Gurat di Desa Jelekong, makanya sangat familiar bagiku, mendengar nama tersebut. Setelah itu, ia menjelaskan budaya-budaya Jawa, karakteristik masyarakatnya dan lain-lain. Sebelumnya aku juga sangat asing dengan budaya Jawa. Karena menurutku budaya Jawa sangat mistis dan biasanya keluargaku menjauhkan ku dari hal-hal tersebut, karena takut syirik. Tapi setelah membuat film dokumenter Bantengan yang ikut berbaur selama 10 hari dengan berbagai macam tokoh dengan perspektif yang berbeda-beda terhadap satu objek yang sama di Malang, aku jadi mendapat gambaran utuh tentang budaya Jawa sendiri, sehingga tipis sekali stereotype yang ku simpan. Karena stereotype tersebut bisa ditangkis dari berbagai sudut pandang yang telah aku dapatkan dari interaksi yang telah kami lakukan. Dapat tidak maksudnya?
Setelah itu aku jadi merenung sambil senyum-senyum. Wah memang kita itu harus melakukan banyak perjalanan yah, banyak duduk bareng bersama kelompok yang beragam, supaya damai hati dan pikiran kita, bahwa perbedaan itu bukan masalah. Justru sebuah anugrah. Dan kita memang harus memaksakan diri mengeluarkan uang yang tidak sedikit, waktu, tenaga dan fokus kita untuk berkelana. Selain itu kita juga harus menggadaikan ketakutan-ketakutan kita serta kekhawatiran kita tentang tanah yang akan kita pijaki nanti. Ya ini aga sulit sih, aku pun masih belum berani kalau solo traveling karena pembawaan pribadiku sendiri masih kaku-kaku gimana gitu, jadi aku mengawalinya dengan berkelana bersama teman-teman dalam berbagai kesempatan.
Oya yang tidak kalah penting, selalu, selalulah abadikan perjalananmu dengan sebuah karya. Bisa melalui tulisan seperti aku ini, melalui foto, video dan sebagainya. Supaya tidak luntur ingatan kita terhadap hal-hal baik yang telah kita lalui dan kita dapatkan. Dan syukur-syukur semoga karya kita bisa bermanfaat untuk orang-orang disekeliling kita nantinya.
Balik lagi ke Rodinda yuk! Awal aku mendapatkan kalimat sakti Rodinda adalah dari diskusi bersama Ki Cokro di padepokannya. Beliau bilang, apa yang adik-adik sedang lakukan saat ini (maksudnya perjalanan membuat dokumenter dari Bandung ke Malang) harus memenuhi Rodinda. Apa itu Rodinda? Rodinda adalah singkatan dari istilah Romantika, Dialektika dan Dinamika.
Maksudnya apa? Ya ketika kita sedang melakukan sebuah perjalanan, jangan hanya menekankan sisi Romantika, bersenang-senang dengan teman-teman, hihi haha di perjalanan, atau icip-icip kulinernya saja. Tapi dalam perjalanan tersebut, harus dibarengi dengan Dialketika. Kalau Socrates bilang, dialektika ini akan membantu kita untuk mendapat pengetahuan baru. Banyak bertanya, banyak berdiskusi, cari tau banyak hal tentang kota tersebut pasti akan membuat perjalanan kita berkesan. Dan yang terakhir, harus dinamis. Jalan dari satu tempat ke tempat lain. Dari kelompok satu ke kelompok lainnya. Supaya ragam perspektif dalam perjalanan kita semakin beragam.
Nih ya, salah satu kelemahan kita tuh kalau sedang main ke satu kota, kita malah malas eksplor. Maunya menetap aja di pengeniapan atau di rumah saudara yang kita tinggali. Waktu aku di Malang, aku dan teman-teman sering makan di luar lalu jalan kaki menyusuri kota setelahnya. Pernah suatu ketika kita mampir di sebuah gedung yang sedang menyelenggarakan Ludruk. Wah itu pengalamanku pertama kali liat Ludruk secara live. Sebelumnya aku juga bahkan gatau Ludruk itu apa, setelah di tengok, ohhh lenong dengan bahasa Jawa. Hal tersebut mungkin ga bakal aku temui kalo tim ku ini ga dinamis. Iya gak sih?
Nah jadi, menurutku Rodinda adalah sebuah konsep keseimbangan. Kita harus bersenang-senang yang berisi. Tapi jangan juga kalau jalan-jalan terlalu serius, terlalu tegang. Karena nanti lelahnya tidak akan terbayar ya kan? Iya dongg! Dan satu lagi harus dinamis, biar nyoba dan nemu banyak hal baru.
Sekarang coba ingat-ingat, selama ini sudah sampai manakah tahap jalan-jalan kalian? Sudahkah mengandung ketiga unsur ini? Kalau belum, coba dilengkapi, siapa tau dapat pengalaman yang sebelumnya tidak pernah kalian bayangkan! :D Selamat menempuh jalan jauh~