Guru Yang Friendly?
Disuatu pelatihan taruna melati 2 yang pernah aull ikuti, pada materi Leadership kang Nunus pernah melontarkan pertanyaan. “Apa perbedaan guru dan murid jaman sekarang dengan jaman dahulu?” Kita para peserta menjawab pertanyaan sekenanya, karena kang Nunus juga sangat friendly seolah pertanyaannya itu sebuah sesuatu yang tak serius. Kang nunus pun menjawab “Guru dan murid jaman dahulu itu sangat ditakuti sehingga sangat disegani dan dihormati. Sedangkan guru jaman sekarang itu sudah seperti teman.” Aku saat itu merenung. Teringat percakapan messageku dengan Adam.
Waktu itu aku kelas 3 akhir dan
akan segera menentukan pilihan SMA. Hemm ya aku sudah jelas pasti akan
melanjutkan di sekolah SMPku. Amanah Islamic Boarding School. Saat itu aku juga
berkenalan dengan Adam lewat media sosial. Facebook. Kebetulan Adam juga kader
IPM yang sama-sama menjabat sebagai Sekretaris Umum. Maka kamipun menjalin
pertemanan yang baik meskipun belum pernah bertemu sebelumnya. Karena
kami adalah satu generasi, akupun menanyakan kemana Adam akan melanjutkan
studinya. Ternyata dia sangat menginginkan untuk bisa bersekolah ditempatku
juga. Tapi ada beberapa faktor yang tidak memungkinkan. Akhirnya Adam yang
sangat memiliki rasa penasaran yang tinggi, memintaku menceritakan pengalamanku
mukim di Amanah. Dan akhirnya aku bercerita juga soal guru-guru disana. Aku
bilang di Amanah itu enak banget. Guru-gurunya bisa diajak curhat. Kayak temen
gitu deh. Pokoknya enak!
Tau yang dijawab Adam apa?
“Astaghfirullah, guru ko diajak curhat?” loh! Aku disana termangu tak mengerti.
Memangnya kenapa kalau guru kita jadikan teman. Bukannya itu hal yang baik?
Hingga saat ini aku belum mengerti. Karena jujur aku lumayan senang bergaul
dengan guru. Meskipun hanya guru-guru tertentu. Ya, karena aku pikir aku yang
tinggal di pesantren ini sangat membutuhkan orangtua. Siapalagi kalau bukan
guru pengganti orang tua kita? Iya kan? :D
Hanya saja kejadian hari ini
membuatku kembali berpikir soal ungkapan-ungkapan tadi. Hari ini guru Ulumul
Quran menegur temanku yang datang terlambat kemudian mengobrol dan tidak bawa
buku pula. Kami yang semula lumayan menikmati pelajaran tegang seketika. Karena
kata-kata yang dilontarkan lumayan pedas. Dan akhirnya temanku menangis tanpa
suara. Dirangkul dengan teman sebelahnya. Dan mungkin karena suasana yang sudah
tidak nyaman guru tsb mengakhiri 30 menit lebih awal dari batas waktu yang
telah ditentukan. Guru itupun menutup pelajaran dan mengucapkan permohonan maaf
kepada temanku tadi dengan berbahasa arab. Dan setelah guru tsb pergi temanku
nangis sekencang-kencangnya. Terdengarnya seperti orang yang benar-benar
tersakiti. Ngebatin.Dan kamipun langsung bergerombol untuk menenangkan
hatinya. Sambil merasa simpati aku bergumam dalam hati.
“Kalau anak jaman dulu kan
terkenal didikannya keras ya? Terus kalau guru memarahi dia karena kesalahannya
ataupun karena dia ga salah apa dia bakal ngerasa dendam seperti kita-kita ini?
Ya ga dendam sih Cuma kesel aja gitu. Kurang bisa diterima? Apa justru mereka
jadikan gertakan guru sebagai motivasi? Dan menjadikan diri menjadi lebih kuat?”
Pertanyaanku terus
terngiang-ngiang hingga aku menulis entri ini. Apa mungkin benar ya, karena
kita terlalu dekat terhadap guru? Sehingga ya beginilah faktanya saat ini. Hemm
atau apa ya apa?