Menemukan Keindahan Menulis
Daya tahan. Aku sempat bodoh, karena sempat meniatkan diri
untuk menyerah dari kumparan kurang dari 3 bulan bekerja. Padahal saat itu, aku hanya sedang baper karena merasa belum perform.
Desakan orang tua yang memintaku untuk kerja di BUMN juga
mulai mengisi ruang hatiku saat itu. Tapi... hati kecil masih terus bertanya-tanya,
mau kerja apa kalau bukan di media? Karena yang ku yakini saat ini, basic
skillku paling memungkinkan untuk dimaksimalkan ya di industri media. Kalau
sudah tau itu kan, kenapa harus memulai sesuatu yang kita sendiri masih mencari
cocok-cocoknya to’? Lebih baik langsung tancap gas bukan?
Dan pada akhirnya aku memilih untuk bertahan dan beradaptasi.
Just spill it out.
Alhamdulillahnya (meskipun aku belum tau juga), keputusan
bertahan itu sesungguhnya enggak salah-salah amat. Sebagai pelipur lara, Allah
mengirimkan beribu kebaikan agar aku mau berjuang lagi. Salah satunya, orang
tuaku yang berhenti memaksa untuk daftar BUMN. Mungkin karena selama ini aku sering
daftar asal-asalan, mereka jadi menyerah sendiri. Hehehe
Mereka mulai menyadari bahwa, ya bagaimanapun aku dipaksa,
pada akhirnya bekerja harus sesuai minat. Makasih mah, pah sudah mau mengerti.
Dan balik lagi ke alasan aku bertahan, meski belum betah-betah
banget karena belum bisa memposisikan diri sebagai orang yang bisa
diperhitungkan di kantor, ya kan sayang aja kalau aku belajar setengah-setengah.
Lebih baik aku menenggelamkan diri seutuhnya untuk belajar, bukan? Mumpung di kantor ini aku bisa menulis sebanyak-banyak dan direview langsung oleh editor-editor
yang berpengalaman.
Dan keinginan belajarku semakin menguat ketika aku mulai
menyadari keberadaan penulis-penulis hebat di kantor. Ya pertemuan itu bukanlah
pertemuan tatap muka langsung. Namun pertemuan dengan mereka merupakan pertemuanku
dengan karya-karya mereka yang seolah tengah berdiri tegap membusungkan dada
dengan gagah, di depan karyaku yang masih menunduk karena belum ada apa-apanya.
Beberapa penulis-penulis kantor yang menjadi favoritku
adalah Mas Tio, Mas Dalipin dan Kak Baiquni. Tulisan mereka menarik, sungguh
menarik. Bagaimana mereka menghubungkan fenomena dengan hal lain, menjadi
daya tarik. Aku bisa menghabiskan beberapa tulisan mereka dalam sekali duduk. Aku
mengaguminya dan aku ingin terus belajar untuk bisa mencapai titik, di mana aku
dapat mengakui diriku bisa menulis.
"Penulis-penulis terampil memilih gaya, termasuk gaya yang rumit, dengan kesadaran bahwa gaya itu menentukan makna ceritanya. Mereka berhitung. Di sisi lain, penulis-penulis buruk bekerja mengandalkan kebetulan. Kalau hasilnya bagus, kebetulan. Kalau buruk, ya, sudah semestinya begitu. Dan tidak semua bacaan yang membingungkan itu rumit. Sebagian cuma berantakan, sebab penulisnya tidak paham apa yang ia kerjakan. - Dea Anugrah
Di luar kantorpun aku menemukan beberapa penulis yang tulisannya
menarik perhatian. Banyak di antaranya berasal dari Tirto.
Aku jadi sadar, bahwa, karya tulis itu bisa menciptakan
sebuah keindahan layaknya karya seni. Kita bisa jatuh cinta dengan gaya bahasa
dan cara berpikir sang penulis. Dan seiring dengan itu, aku menyadari bahwa
menulis itu butuh integritas, intensitas dan tentu saja amunisi ilmu agar lancar
menuangkan kata di atas kertas (kertas google docs i meant hahaha).
Kini, aku mulai mengukur diri tentang apa yang harus aku lakukan.
Dengan menulis, aku dipaksa untuk membaca. Karena meningkatkan kualitas tulisan
itu butuh referensi. Ah menyenangkan sekali berada di jalan ini.
Aku bersyukur bisa belajar setiap hari. Bisa setiap hari
membaca banyak hal. Aku seperti menemukan tujuan hidupku lagi. Menemukan tujuan
lama yang tersadarkan lagi untuk diarungi.
Tulisanku yang ini, iya yang sedang ku tulis ini bukanlah
jenis tulisan apa-apa. Ia hanya sebuah celotehan dan curhatan dari luapan hati
karena saking bahagianya aku menemukan sebuah makna.
Ya menulis... tidak semudah itu ternyata. Tapi menarik untuk
dipelajari. Aku jatuh cinta bahkan hanya sedang memikirkan aku menulis, aku
sudah jatuh cinta.