Tasikmalaya Lagi - Aku yang Berusaha Membaca Manusia
Tasikmalaya '17 |
“Jangan anggap remeh si manusia, yang kelihatannya begitu sederhana; biar penglihatanmu setajam elang, pikiranmu setajam pisau cukur, perabaanmu lebih peka dari para dewa, pendengaran dapat menangkap musik dan ratap-tangis kehidupan; pengetahuanmu tentang manusia takkan bakal bisa kemput.” -Pramoedya Ananta Toer
Sejak aku tak ingat lagi bagaimana rasanya menyapa tetangga tapi kubutuh sentuhan manusia untuk menulis naskah cerita, aku selalu ingin bisa membaca segala hal tentang manusia, tentang segala yang dianugrahi dan diberkati padanya. Bukan membaca perasaan mereka, tak begitu inginku.
Aku hanya tertarik pada luaran mereka, dan aku ingin mengenal dari asyiknya perbedaan mereka. Aku masih ingin menghirup atmosfer dimana manusia saling bertengkar, saling mengunjungi, saling tertawa, saling mengeluh, saling menyapa, eratnya interaksi, ramaikan Bumi. Biar hiruk pikuk manusia yang serba salah menjalani hidup itu jadi sebuah syahdu yang nikmat dirasa indra.
Lalu aku berusaha membaca mereka, tapi malah menemukan sebuah jalan buntu. Aku tidak punya ide tentang mereka, cakrawalaku tak dapat menembus apa-apa tentang mereka. Dangkal ilmuku, tak dapat ouput karena terbatasnya input.
Lalu aku berkelana memasuki bangku perkuliahan. Yang bangkunya modern bukunya kian tipis karena hanya terangkum dalam cahaya pantulan. Aku meninggalkan buku-buku sudah tentu karena banyak bermain dengan benda-benda bersinar sebesar genggaman tangan.
Dan aku masih belum bisa membaca manusia.
Lalu aku berkelana mencari kawan, seringnya nongkrong dan juga hura-hura. Jarang pula belajar apalagi mendalami ilmu pengetahuan. Antropologi apalah itu yang padahal dulu sempat diingini. Tapi sesekali, kudatangi lagi buku-buku yang telah lama kutinggalkan. Kumasuki beberapa forum diskusi. Menonton film dan membaca banyak cerita dari berbagai belahan dunia, tak luput kudengarkan lagu-lagu sosialis.
Aku selalu tertarik pada rakyat kecil, karena dari sanalah aku dan nenek moyangku berasal. Jengah sekali pada citraan juga gemerlap atas kesombongan para pencakar langit, aku ingin berlari lagi merendah membumi dan berbaur dengan ilalang juga semilir angin yang menelisik sela-sela rambutku, dulu.
Kutemukan titik terang
Aku mulai bisa membaca sebagian dari mereka, dan aku tertawa juga memaklumi. Aku bahagia menjadi manusia yang hadir ditengah masyarakat yang masih menjalani kehidupan dimana seharusnya mereka berada, yang disediakan sang pencipta. Kunikmati mengamat segala tentang manusia lagi. Dari usia dan aktivitas, teman bergaul dan mainannya, mata sipitnya, lengan yang legam, rokok kreteknya, catur dan korannya, sepeda dan cincin besarnya, kerudung bermotif dan ember hitam legendaris.
Masihlah sederhana hasil telaah, mengenai apa-apa yang mereka baca, apa yang mereka kenakan, apa yang mereka beli, apa yang mereka kendarai, apa yang mereka bicarakan, apa yang mereka ikat, apa yang mereka panggul, apa yang mereka jinjing, apa yang mereka aduk, apa yang mereka tuntun, apa yang mereka gandeng dan apa yang mereka sombongkan sebagai akuan manusia yang mulai modern.
Tasikmalaya, 08 April 2017
Yuhu, ini kali kesekian aku menyapa Tasikmalaya lagi. Hari ini berkendara dengan motor lama milik Tante. Karena sudah tua jadinya lambat betul. Tapi disana aku menikmati jalanan kota seanggun masyarakatnya. Aku menikmati suasana pasar yang tidak terlalu ramai, namun tidak sepi. Aku menikmati cuaca yang teduh dan aku menikmati semua rindu akan kota lama, rindu terhadap jejak-jejak yang pernah kupijak di kota kecil ini. Aku suka jadi manusia! Walau seperti Nietzsche bilang, aku hanya seperti kamar yang bergetar ketika sebuah kereta lewat, bukan dia yang duduk dalam kereta itu. Aku bukan si pelaku, hanya sang pengamat.