(Not) My First Heartbreak

Friday, February 24, 2017 0 Comments A + a -




Yang aku butuhkan akhir-akhir ini adalah menjauhkan diri dari kesendirian. Hal ini baik karena ketika sepi menyerang aku tak bisa mengontrol diriku untuk tidak putus asa. Aku seolah-olah buta. Karena reflektorku adalah orang-orang yang "tampil" bahagia di layar kaca. Dengan latar belakang berbagai tempat yang belum aku jangkau. Maka ku juga ingin menjauhkan jemari dari benda persegi yang bersinar.

Kalau orang terdekatku menatapku, matanya berkata, "telah pergi orang yang kau kasihi dan mengasihi kau".

Maka akan ku tambahkan, telah pergi juga ramalan masa depan. Kebahagiaan dunia itu semu. Lalu aku terus saja ditimpa lagi oleh teka-teki.

Titik Balik.
Setelah perenungan, Allah menarik mundur, mengambil apa saja, yang jelas sebagian dari hidupku, menyisir remah-remah benalu, yang mungkin sudah mengakar dalam hidupku. Dan memang sudah saatnya dicabut untuk hidupku yang lebih baik. Sakit? Tentu! Penawarnya tak ada yang lain selain sebuah sadaran. Aku punya Engkau dan aku masih berpegangan teguh pada tiang-tiang agamaMu. Walau badainya kencang, gelombangnya tinggi. Jari-jari dan lengan yang ringkih terus bertanya kapan ini akan segera berakhir.

Titik Balik
Dengan nalar, aku memperkirakan, mudah-mudahan mekanismenya seperti busur. Ditarik mundur untuk melesat cepat. Menuju target.

Sayangnya ada banyak jiwa-jiwa yang semisal. Berkelana setelah dilepas dari busurnya. Tapi, masih bertanya dan pertanyaannya tenggelam bersama dirinya. Ia hilang mengatasnamakan biasnya eksistensi diri. Bukankah ini sungguh membuat depresi.

Sekali lagi kawan, kita perlu tegar menghadapi titik balik dalam hidup kita. Bisa jadi proses itu membuat kita tersungkur, terprosok, tersesat. Dan parahnya, frustasi.
Tapi ini hanya sebuah titik balik. Semua akan kembali lagi dijawab oleh waktu.

Apakah titik balik ini berasal dari patah hati? Tidak. Hanya efek yang ditimbulkan mirip reaksi mereka-mereka, sang Siren Lament.

Bandung, 24 Februari 2017